TERASDESA.CO.ID — Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama menangkal paham radikal masuk ke desa, daerah tertinggal, dan kawasan transmigrasi.
Nota kesepahaman tersebut ditandatangani langsung oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar di Kantor Kemendes PDTT, Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Menteri Halim mengatakan, sebanyak 74.953 desa membutuhkan mitigasi radikalisme untuk mempertahankan kerukunan dan sikap toleran yang selama ini telah terbangun di perdesaan.
Menurutnya, upaya menjaga sikap toleran di desa akan menjauhkan desa dari paham radikal dan terorisme.
“Di desa sepertinya tida perlu bicara terorisme. Di desa kita bicara tentang mitigasi, pencegahan, toleransi, kemudian saling menghargai. Karena kalau ini semua terbangun maka tidak akan ada intoleranisasi. Kalau tidak ada intoleranisasi tidak akan ada radikalisme, kalau tidak ada radikalisme tidak mungkin ada terorisme,” ujarnya.
Upaya menangkal paham radikal masuk ke desa, kata Mendes, telah ia lakukan dengan menekankan aspek pembangunan desa yang tidak boleh lepas dari akar budaya desa setempat. Meski demikian, pembangunan desa juga tidak menutup diri terhadap terobosan-terobosan baru yang lebih baik.
Terkait budaya, lanjutnya, warga desa memiliki kebiasaan warisan nenek moyang yang tidak lepas dari asas kekompakan, kebersamaan, dan saling menghargai berbagai karakter sosial.
Mendes mengatakan pertahanan terhadap akar budaya desa tersebut harus dipertahankan, guna memastikan desa tahan terhadap paham-paham radikal.
“Pembangunan desa yang tidak lepas dari akar budaya itu adalah upaya agar desa mempertahankan tradisi-tradisi bagus. Sebagaimana prinsip yang menjadi pegangan kita yakni mempertahankan tradisi lama yang masih bagus, dan mencari terobosan baru yang lebih baik lagi,” katanya.
Terkait hal tersebut, Kepala BNPT mengatakan, kejahatan terorisme di Indonesia telah berhasil merekrut generasi muda yang berasal dari desa dan kampung-kampung, yang umumnya berusia 18-25 tahun.
Yang paling banyak terkena proses hukum atau yang berhasil diajak untuk menjadi pelaku bom bunuh diri berasal dari generasi muda.
“Kemungkinan mereka (yang berhasil direkrut) kurang pemahaman, kurang pengetahuan di bidang agamanya, kemudian ada pihak yang mempengaruhi mindset alam berpikir mereka dan mereka terbawa,” terang Mantan Kadiv Humas Mabes Polri ini.
Untuk itu, kata Kepala BNPT, selain pembangunan dalam bentuk fisik, pembangunan non fisik juga penting dilakukan untuk membangun ketahanan masyarakat desa terhadap paham-paham radikal.
“Pembangunan non fisik tentunya bagaimana masyarakat desa mengerti, memahami tentang bangsanya, ideolgi bangsanya, hal-hal yang berkaitan dengan ideologi negara, dan prinsip cinta tanah air. Seperti prinsip para ulama di Indonesia yakni Hubbul Wathan Minal Iman,” ujar Mantan Kapolda Banten ini.