Memanen Listrik dari Air Terjun di Way Tenong


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/u1707302/public_html/terasdesa.co.id/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

WAY TENONG, TERASLAMPUNG.COM–Desa Karang  Agung, Kecamatan Way Tenong,Kabupaten Lampng Barat mungkin saja akan sulit ditemukan di peta Indonesia,bahkan peta Lampung

Berada di sebuah ketinggian perbuktikan di Way Tenong, tidak mudah bagi siapa pun untuk bisa menjangkau desa itu. Jalannya menanjak, curam, berbatu, dan sangat licin jika turun hujan. Wilayahnya berbatasan dengan Hutan Register yang sebagiannya sudah ditumbuhi kebun kopi.

Jika turun hujan. sepeda motor trail akan bisa naik perbukitan jika bannya dililiti rantai.Sepeda motor biasa niscaya tidak akan bisa melaju kaena jalan licin, berlumpur, dan curam.

Dengan kondisi seperti itu—ditambah aliran listrik PLN belum masuk—praktis sejak Indonesia merdeka Desa Karang Agung nyaris menjadi desa  terisolasi.  Selain jalanan menuju Desa Karang Agung yang kurang bagus, listrik memang belum masuk ke desa ini. Jadi, selama puluhan tahun desa ini kalau malam gelap gulita. Nyala api di malam hari dibantu kehadiran oleh minyak tanah yang dipakai warga untuk menyalakan pelita atau lampu oncor.

Karena tidak ada listrik, warga desa pun tidak perlu alat elektronik seperti handphone. Namun, sejak tiga tahun terakhir kondisi itu berubah. Jalan menuju desa sudah disemen. Listrik pun sudah mulai dinikmati oleh sebagian besar warga Desa Karang Agung.

Energi listrik yang kini dinikmati warga Desa Karang Agung bukanlah listrik yang bersumber dari PLN, tetapi berasal dari sebuah turbin air yang diusahakan warga Karang Agung bernama Supriyadi (43 tahun).

Supriyadi bukanlah ahli listrik atau karyawan PLN. Ia petani utun.  Menggarap beberapa hektare lahan kopi serta beternak sapi dan kambiing. Ia tergugah untuk menerangi desanya karena selama berpuluh-puluh tahun  ia dan para tetangganya tidak bisa menikmati terang listrik dan kemudahan memanfaatkan alat elektronik.

Supriyadi dan para tetangganya bisa membeli kulkas, televisi, penanak nasi, dan telepon genggam. Namun, mereka tidak bisa membelinya begitu saja tanpa ada kepastian di mana mereka akan mendapatkan arus listrik. Mesin genset menjadi altenatif utama dan awal untuk bisa membeli semua barang yang kini sudah jadi kebutuhan primer itu.

Namun, mesin genset bukanlah jawaban semua persoalan kelistrikan di Desa Karang Agung. Sebab, mesin genset juga bisa rusak. Kalau dinamonya yang rusak, maka itu alamat harus membeli genset baru karena ongkos memperbaiki dinamo sangat mahal. Bisa lebih mahal dibanding membeli genset baru atau genset bekas.

Supriyadu mengecek turbin

Menyadari hal itu, Supriyadi teringat pada empat air terjun yang berada di pinggir desa. Supryadi berpikir, jika air terjun itu dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin kincir air niscaya akan menghasilkan listrik. Namun, merealisasian impian itu tidaklah mudah. Perlu modal untuk membeli mesin turbin dan kabel sepanjang 1,5 kilometer agar arus listri bisa disalurkan ke rumahnya dan para tetangganya.

Ide membuat kincir air pun kemudian diwujudkan Supriyadi tiga tahun lalu (2012). Dengan modal Rp 50-an juta, akhirnya Supriyadi bisa mewujudkan impiannya membuat sumber listrik bagi sekitar 300-an kepala keluarga di kampungnya.

Pemasukan Ngepas, Bahkan Sering Nombok

Setelah tiga kincir air di tiga air terjun dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik, kini Desa Karang Agung menjadi terang pada malam hari. Warga pun tidak lagi ragu lagi membeli telepon genggam (HP), karena sudah bisa mengisi  bateri HP dengan aliran listrik di rumahnya.

Semua itu karena kebaikan dan kerja keras Supriyadi. Untuk kerja kerasnya, Supriyadi menjual arus listrik dengan cara berlangganan dengan harga sangat murah. Sedikitnya 130 kepala keluarga (KK) berlangganan listrik dari energi mikrohidro yang dibangun Supriyadi. Setiap pelanggan yang ingin dapat saluran arus listrik akan membayar tagihan bulanan Rp 50 ribu. Namun, tidak semua pelanggan bisa lancar membayar.

“Hanya 75 persen yang  bayar lancar. Itu pun setahun sekali. Sisanya untuk amal saja,” kata Supriyadi.

Supriyadi mengaku tagihan Rp 50 ribu bulan/pelanggan sebenarnya hanya pas-pasan untuk untuk mengusahakan listrik dengan kincir air. Sebab, katanya, biaya perawatan sering mahal. Misalnya pada saat air terjun kelebihan air, as turbin sering patah. Tentu saja as yang patah harus segera diganti. Belum lagi kalau dinamonya yang rusak.

“Harga dinamo mahal, sampai Rp 5 jutaan,” kata ayah satu putri ini.

Meski begitu, Supriyadi tidak patah semangat. Ia mengaku akan tetap berusaha agar turbin pembangkit listrik yang selaama ini menerangi warga desanya tetap bisa beroperasi.

Kerja keras mengupayakan desanya bisa memanen listrik tidak hanya menguras tenaga dan pikiran  Supriyadi. Ia pun harus merelakan ibu jarinya hilang karena ‘termakan’ as turbin saat memperbaiki turbin yang rusak.

Meskipun sudah kehilangan satu ibu jarinya, Supriyadi tidak jera. Ia akan tetap turun ke air terjun jika hujan deras datang untuk memastikan limpasan air terjun tidak menjebol turbinnya. Padahal, letak air terjun berada di tebing jurang yang sangat curam. Kalau tidak hati-hati dan terbiasa, niscaya nyawa akan jadi taruhannya.


 Oyos Saroso H.N.