Ini Tiga Modus Penyelewengan Dana Desa


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/u1707302/public_html/terasdesa.co.id/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

 

TERASLAMPUNG.COM, PONTIANAK — Dana Desa yang digelontorkan pemerintah pusat  ke seluruh desa di Indonesia rawan penyelewengan. Di beberapa daerah, penyelewengan dana desa memang sudah terjadi dengan tiga modus.

Modus pertama, dengan pengurangan upah pekerja (HOK). Modus kedua, dengan pembuatan Desain RAB Siluman. Modus ketiga dengan  penggelembungan harga bahan bangunan dan manipulasi ongkos angkut.

“Pengurangan upah pekerja (HOK) caranya pihak pengelola kegiatan menawarkan HOK yang jauh lebih rendah dari DRAB kepada masyarakat dan masyarakat tidak diperlihatkan DRAB,” kata pengamat sosial Stephanus Mulyadi, Minggu (28/8/2016).

Pria lulusan Technische Universität Dresden, Jerman, ini mengatakan dana desa yang diduga diselewengkan biasanya terkait dengan kegiatan pembangunan infrastruktur.

Menurut Stephanus, pengelola dana desa biasanya akan menawari calon pekerja dengan jumlah tertentu. Jika pekerja mau bekerja dipersilakan bekerja, jika tidak maka pekerjaan akan ditawarkan kepada orang lain.

“Masyarakat yang sedang sekarat karena harga karet murah, umumnya menerima begitu saja penawaran yang ada,” kata pria asal Sejiram, Kalimantan Barat ini.

Stephanus mengaku dirinya menemukan sejumlah fakta ketika masyarakat mengetahui daftar rencana  anggaran dan belanda (DRAB) dan tahu jumlah HOK yang sebenarnya serta melakukan protes, pihak pengelola dana desa biasa membela diri dengan mengatakan rencana anggaran biaya (RAB) itu  masih sebatas rencana. Jadi tidak bisa dipakai.

“Padahal, dari RAB itulah diperoleh jumlah dana untuk satu kegiatan yang kemudian disusun APBDes. Jika dananya sudah cair, berarti anggaran pembangunan dan belanja desa (APBDes)-nya sudah memiliki kekuatan hukum karena sudah disahkan dengan Perdes. Jadi, kalau mengubah desain RAB, berarti mengubah APBDes. Mengubah APBDes berarti melanggar hukum,” terangnya.

Modus kedua yang dipakai yaitu pembuatan Desain RAB Siluman. Artinya desain RAB beda dengan yang dipakai untuk dasar APBDes. RAB ini biasanya disampaikan kepada masyarakat.

Dalam RAB siluman ini HOKnya biasanya lebih rendah dari yang asli. Bahkan, ada yang jumlahnya hanya setengah dari yangg asli.

“Masyarakat jangan mau dibohongi. Kalau diperlihatkan desain RAB suatu kegiatan pembangunan infrastruktur, minta juga untuk diperlihatkan APBDes asli. Bandingkan apakah angka proyeknya sama. Jika pihak desa atau TPK tidak mau memperlihatkannya bisa dicurigai ada yang tidak beres. Tuntut transparansi dari pihak Aparat Desa. BPD mesti gesit dan berani tegas menuntut ini. Jika tidak mau juga, lapor pihak berwajib setempat,” katanya.

Modus ketiga, penggelembungan harga bahan bangunan dan manipulasi ongkos angkut. Modus penggelembungan harga material bangunan di beberapa desa pun makin marak.

Caranya, aparat desa melakukan stok material terlebih dulu. Setelah stok terkumpul. lalu berupaya menyusun RKPDes dengan kegiatan pembangunan infrastruktur sesuai dengan stok tersebut.

“Tapi saat penyusunan desain RAB, material tersebut seakan-akan akan di beli di kota atau desa lain yang jauh sehingga ongkos angkutnya mahal. Padahal, saat realisasi material yang dipakai adalah material milik aparat desa itu,” terangnya.

Nah, saat penagihan ke bendahara, perhitungan sesuai dengan RAB (+ ongkos angkut) dan bendahara membayar sesuai dengan tagihan tadi.

“Di sinilah terjadi kerugian uang negara karena sesungguhnya ongkos angkut tidak ada (tidak setinggi) yang tertulis di DRAB,” imbuhnya.

Stephanus mengimbau masyarakat desa tidak gampang dibohongi. Masyarakat desa harus terlibat sejak perencanaan dan tetap mengawasi pelaksanaan.

“UU Desa mengamanatkan agar masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan desa,”tandasnya.